Wednesday, October 17, 2012

Puisi-puisi Zaim Rofiqi

1 Karya H Widayat -- DECORA-MAGIS ABSTRACTION TAHUN 2001 Oil on Canvas 105 x 145 cm

Seperti

— A N N

I.

Seperti sebuah buku purba
yang dicari begitu lama.
Suatu senja kau menemukannya:
tiga halaman pertama dan terakhir
sirna entah ke mana.
Sendiri, kau pun harus menuliskannya
rela, atau tak rela.

II.

Seperti sebuah rumah megah, berempat jendela.

Jendela pertama: hamparan padang begitu luas, mungkin tanpa batas. Sepanjang jalan, pepohonan meranggas, berdaun debu dan debu.

Jendela kedua: sebuah taman, berjalan setapak bercecabang. Masing-masing menghamparkan cecabang lain, mungkin tak terhingga.

Jendela ketiga: bentangan laut, di ujung pandang, gunung- gunung berjajar. Angkasa penuh gegumpal awan hitam keabuan. Badai mungkin menyapa, kapan saja.

Jendela keempat: tembok-tembok beragam bangunan, saling-silang, tak beraturan. Sebuah jalan sempit terhampar, mungkin hanya cukup dilewati satu orang.

Lama, begitu lama, kau tinggal di dalamnya.

III.

Seperti perpustakaan tua, tanpa penjaga.
Buku-buku berjajar, bertumpuk, terserak, tersebar.
Siang malam, kemarau penghujan, orang-orang datang,
Siang malam, kemarau penghujan, orang-orang pergi,
Siang malam, kemarau penghujang, orang-orang membaca,
Siang malam, kemarau penghujan, orang-orang menulis:
kisah cinta, nostalgia, malapetaka, insomnia, amnesia, paranoia.
Kau sadar, engkau salah satu dari mereka.

IV.

Seperti sebuah balon karbit yang mengawang
di angkasa.
Seseorang (atau sesuatu?) telah melepaskannya
sengaja, atau hanya iseng belaka.
Waktu demi waktu, masa ke masa
dia hanya mengambang
mungkin tanpa tujuan.
Waktu ke waktu, masa demi masa
dia cuma melayang
entah sampai kapan.
Kau tahu, dia akan terus di sana,
entah kau ada
atau tiada.

V.

Seperti sebuah pertempuran besar,
yang harus dimenangkan.
Musuh demi musuh datang,
menuntut ditaklukkan.
Senjata demi senjata digunakan,
demi memenangkan pertarungan.
Kadang kau lelah, ingin sudah. Tapi musuh kecil besar,
telah ada di gerbang halaman.

 VI.

Seperti dongeng bersambung
pengantar tidur.
Kisah demi kisah disajikan, berjalan, sering di luar perhitungan.
Peristiwa demi peristiwa hadir, tanpa sepenuhnya berakhir.

Kau bertanya mengapa, lalu, bagaimana.
Tapi si tukang cerita telah pergi
entah ke mana.

 VII.

Seperti sebuah pentas wayang, tanpa dalang.

 2012

Kucing

 — Jacques Derrida

 Ia melihat seekor kucing. Ia melihat seekor kucing berbulu abu. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat- kilat seperti kegirangan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan.

Ia melihat seekor kucing. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat- kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dini hari sehabis hujan.

Ia melihat seekor kucing. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain.

Ia melihat seekor kucing. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda- mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan, wajah yang kadang saling didekatkan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan, wajah yang kadang saling didekatkan, di bawah sebuah lampu bohlam temaram.

Ia melihat seekor kucing. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan, wajah yang kadang saling didekatkan, di bawah sebuah lampu bohlam temaram. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan, wajah yang kadang saling didekatkan, di bawah sebuah lampu bohlam temaram yang menggantung tepat di tengah-tengah ruangan. Ia melihat seekor kucing berbulu abu berekor panjang bermata biru berkilat-kilat seperti kegirangan menyantap sepotong kepala ayam di bawah sebuah meja makan di sebuah kafe di pinggiran kota di dinihari sehabis hujan di antara dua pasang kaki tanpa sandal tanpa sepatu yang kadang mengelus punggung satu sama lain seolah hendak mengusir dingin, dan di atasnya, sepasang muda-mudi berbisik-bisik satu sama lain dengan tangan yang saling bersintuhan, wajah yang kadang saling didekatkan, di bawah sebuah lampu bohlam temaram yang menggantung tepat di tengah- tengah ruangan, sementara di sekitar mereka, meja-meja telah kosong ditinggalkan.

Ia melihat seekor kucing, lalu ia pun mengalihkan pandangan ke luar, pada jalanan dinihari sehabis hujan yang tak lagi hingar, pada deretan lampu jalan yang seperti menyerunya untuk segera pulang.

2011

Hikayat Bayang-bayang

I.

Saat lahir, kau sebenarnya memiliki kembaran. Namun, sejak mula, dia sadar dirinya penuh kutukan. Dan karena itu, dia memilih menjadi bayang-bayang.

II.

Memang dia terlahir hitam, memang dia hanya bisa memberi kelam. Namun, percayalah, dia sangat bisa dipercaya, dan mungkin tak ada makhluk yang lebih setia dibanding dia: saat gelap, dia akan menyatu denganmu; saat terang, dia akan selalu menyertaimu, mungkin menjagamu.

III.

Dia telah begitu banyak berjasa: sejak awal masa, sejak pertama matamu mengenal dunia, dia selalu bersamamu, menemanimu. Tapi kau masih juga tak tahu, apa yang sebenarnya dia mau.

IV.

Lebih tabah dari orang-orang buangan, lebih sabar dari pungguk perindu bulan: dia akan terus di sana, meski sama sekali tak kau perhatikan, meski tiap saat kau abaikan.

V.

Kadang, di pagi atau senja hari, kau bahkan tak perlu khawatir tentang arah dan rambu jalan, sebab dia telah hafal semua jurusan, dan selalu siap menuntunmu hingga tempat-tempat yang kau sebut tujuan.

VI.

Malam ini, matikanlah semua lampu, agar dia sungguh menyatu denganmu, agar kau sepenuhnya tahu: mengapa selama ini dia membisu.

2011

Di Dalam Penjara

Sudah sangat larut
Dan mungkin seluruh penghuni bui itu telah lelap.
Tapi jam di dinding itu
masih saja berkata-kata.
Entah untuk apa.
Entah kepada siapa.
Tik tak.

2011

Zaim Rofiqi menulis puisi, cerpen, esai, dan menerjemahkan buku. Kumpulan puisinya adalah Lagu Cinta Para Pendosa (2009); kumpulan cerpennya bertajuk Matinya Seorang Atheis (2011). Sumber :Kompas Cetak Editor : Jodhi Yudono Tweet
online
resep masakan
cara membuatfacebook
gratis
Dancing With stars

View the Original article

No comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.




Bookmark and Share

Followers

Copyright © 2012 bigmovies
bigmovies Template designed by BlogSpot Design - Ngetik Dot Com
Powered by Blogger
ztube.in